are you mental?




Jadi, setelah ketemu temen-temen lama nih dalam rangka lebaran, pertanyaan yang sering diajukan sama mereka adalah, “Gimana magangmu? Di rumah sakit jiwa ya katanya?” Ekspresi muka mereka pun juga hampir sama, kira-kira kayak gini nih kalo dijadiin pernyataan … ‘Kok milihnya di situ sih? Gak ada tempat lain ya?’

Yah! Emang kenapa sih kalo di rumah sakit jiwa? 

Dan akhirnya aku memutuskan untuk nulis postingan ini. Sebenernya mereka itu gak nakutin kok, maksudku orang-orang yang dirawat di rumah sakit jiwa. Kan banyak dari temen-temen lain yang udah ‘berjengit’ duluan kalo tau aku magang di rumah sakit jiwa. They’re nicer than you thought

Dari mulai tanggal 16 Juli sampai 7 Agustus 2012 ini aku ikut magang di RSJD Surkarta bareng 5 temenku yang lain, semuanya cewek. Bukan apa-apa sih tapi emang barengannya kebetulan cewek semua. Siapa pelopornya juga aku gak tahu, karena waktu aku gabung di kelompok ini udah ada 4 anak. Jadi tinggal aku sama temenku yang satu lagi, Tiwi, milih masuk ke kelompok magang ini. Untung banget, waktu nyerahin berkas-berkas untuk minta ijin buat magang di rumah sakit ini, langsung diterima. Ibu Kepala Diklat juga baik banget dan ngijinin saat itu juga. Kami ditempatkan di Instalasi Psikologi yang terdiri dari dua gedung. Gedung pertama itu Psikologi Kumbayana dimana menerima pasien klinis yang biasanya pasien rawat inap atau pasien rawat jalan RSJD ini. Gedung kedua adalah Psikologi Eksekutif dimana menerima klien non-klinis, biasanya menerima tes psikologi untuk keperluan masuk perguruan tinggi, kerja, tes bakat minat juga, tes IQ juga ada.

Aku, Tiwi, Lisa baru masuk magang hari kedua karena hari pertama kami masih ada ujian akhir semester. Kegiatan pertama masuk magang? Pastilah keliling rumah sakit, ato nama kerennya orientasi dulu. Kita gak minta staf dari rumah sakit dong, kan 3 temen kami yang lain udah orientasi duluan tuh di hari pertama, jadi kami minta mereka deh buat nunjukkin jalan. Setelah keliling, kita disaranin buat ikut terapi musik. Oh? Terapi musik? Kira-kira kayak apa  ya? Apa yang joget-joget sambil disetelin lagu itu apa ya? Hihi, fyi, dulu waktu SMA aku juga pernah ikut kegiatan mirip kayak gini, yaaa kegiatan buat bertatap muka langsung sama orang-orang dengan gangguan mental ini. Waktu itu juga ada kegiatan seperti itu, joget sambil diiringin lagu. Kocak banget! Dan ternyata terapi musik ini juga seperti itu. Cuma bedanya di rumah sakit ini ada band pengiring live di atas panggung. Para pasien yang dipilih dari tiap bangsal, dikumpulkan jadi satu di aula depan lantai dua. Begitu band memainkan musik dan ada penyanyinya, para pasien dengan kondisi yang lebih ‘sehat’ langsung beranjak dari tempat duduk mereka dan maju ke depan panggung buat njoget. Kadang mereka dengan ngajak temen sebelah duduknya atau banyak juga yang maju sendiri. Ada juga pasien yang mau maju asal ditemenin sama perawat praktikan (selain kami, ada perawat juga yang magang, banyak banget malah). Ada satu pasien cewek yang terus menerus pegangan sama satu perawat cowok selama satu lagu. Hihihi, hampir di akhir terapi aku dan temen satu kelompokku memutuskan untuk ikut membaur joget di depan panggung. Asik juga. Apalagi ada salah satu pasien yang passionate banget nari di depan barisan. Jadi kami semua gak usah bingung mau nari dengan gaya gimana karena di depan udah ada ‘instruktur’nya. Tiap awal lagu, pasien ini akan bangkit dari tempat duduknya dan maju ke barisan paling depan untuk nari. Badannya lentur banget, narinya juga luwes, ekspresinya juga dapet kayak seakan-akan dia nikmatin banget nari gitu. Setelah lagu selesai, dia akan balik ke tempat duduknya sambil bertepuk tangan dan dengan ekspresi puas di wajahnya. Ntar lagu lain dimulai, dia bangkit lagi dan nari di barisan depan. Gitu mulu. Kayaknya emang dia hobi banget nari.

Di hari lain, kami bertindak sebagai tester tes psikologi. Di sini kami berinteraksi lebih dekat dengan pasien, baik yang klinis maupun non-klinis. Aku jarang kebagian pasien non-klinis, karena tiap giliranku di Psikologi Eksekutif itu jarang ada pasien. Palingan cuma satu dua dalam seminggu. Kalo di Psikologi Kumbayana itu hampir tiap hari ada pasien dan itu lebih dari satu orang. Oh iya, kami dibagi menjadi dua kelompok, 3 orang di PK dan 3 orang di PE. Kami bertukar tempat dalam jangka waktu seminggu. Nah, saat ngetes di PK itu, kami jadi lebih tahu tes-tes apa aja yang biasanya diberi ke pasien dan cara memberi instruksinya. Untung banget, pasien-pasien ini meskipun mereka sehari-hari ngomong bahasa Jawa (biasanya krama) masih bisa mudeng kalo kami memberi instuksi dalam bahasa Indonesia. Katanya ada tuh yang gak bisa bahasa Indonesia jadinya kita mau gak mau harus ngasih dalam bahasa yang dia ngerti. Sejauh ini pada bisa bahasa Indonesia. Dari tes-tes ini kelihatan banget bagaimana perasaan mereka, IQ mereka, tingkat interaksi sosial mereka seperti apa. Mereka ada yang terlihat bingung, tertekan, ada juga yang carefree dan ngajak kami ngobrol terus selama tes. Overall, mereka bisa berinteraksi dengan baik. Gak ada tuh acara mukul-mukul orang lain. Jadi dari sini kelihatan mereka cuma butuh perhatian lebih dan bukannya untuk dijauhi. Bahkan katanya ada yang lebih betah di sini karena kalo pulang ke rumah, lingkungan gak menerima dengan baik dan akhirnya di dalam pikiran mereka jadi tekanan dan mereka ujung-ujungnya balik lagi ke rumah sakit.

Kami juga sempat mengunjungi ruang rawat inap pasien rawat ini, di sini disebut Bangsal. Total ada 13 bangsal. Bangsal dibagi menurut jenis kelamin dan kelas (VIP, I, II,III). Lebih banyak bangsal untuk laki-laki daripada perempuan. Apakah teori  bahwa penderita penyakit jiwa itu lebih banyak laki-laki karena mereka lebih berpikir berdasarkan logika dan ketika logika mereka tidak sejalan dengan realita yang ada jadi mereka terganggu itu benar? Yaa, gak paham juga sih. Nah, ketika kami koridor, kami sering disapa lho sama pasien yang kebanyakan nongkrong di pinggir jendela. Hihihi. Awalnya sih aneh tapi lama kelamaan kami tahu bahwa mereka tidak niat nakutin kami jadi kami juga sering nyapa balik akhirnya. Waktu masuk bangsal, kami ngeliat-liat apa sih yang mereka lakukan kalo lagi gak ada kegiatan terapi. Yaaa, ada yang tiduran (itu biasanya yang masih belum lancar untuk berinteraksi), ada yang lagi ngemil, ada yang nonton teve, ada yang ngajak ngobrol perawat. Pasien juga banyak yang ramah. Kalo lihat ada orang baru seperti kami ini, mereka menghampiri kami dan menyalami sambil memperkenalkan diri. Abis itu mereka ya ngeloyor pergi, ngelanjutin kegiatan mereka. Gak ada yang perlu ditakutin sebenernya. Malah kami sedikit terhibur dengan tingkah laku mereka ini.

Waktu itu pernah satu waktu aku dll ikut terapi spiritual agama Islam, duduknya dipisah papan rendah dan panjang antara laki-laki dan perempuan. Setelah duduk, ada salah satu pasien perempuan yang beranjak dari duduknya dan menyalami kami satu-satu sambil memperkenalkan diri. Dia mengambil tempat duduk di sampingku. Sambil melihat ke jas almamater, dia bertanya aku anak kuliah atau bukan. Aku jawab aja nama unversitas dan semester berapa. Abis itu waktu aku tanya balik, dia juga ngaku anak kuliahan. Aku agak kaget. Aku tanya dimana, dia otomatis jawab jurusan, universitas, dan semester. Aku amati lagi, dia terlihat (maksimal) sepuluh tahun lebih tua dari aku tapi kok bilangnya dia berada di semester yang sama denganku. Nah, mungkin ini yang agak membedakan pasien rumah sakit jiwa dan rumah sakit umum. Mereka masih belum bisa membedakan mana realita dan khayalan. Mereka butuh disadarkan untuk bisa berfungsi normal dan membedakan mana yang kenyataan dan yang cuma ada di pikiran mereka saja. Aku akui, itu butuh kesabaran dan keahlian tersendiri untuk itu. Pernyataan ‘sing waras ngalah’ itu kayaknya ada benarnya. Percuma berdebat sama orang yang belum bisa mikir dengan benar. Mereka butuh dukungan dari lingkungan sekitar mereka. Mereka sedikit lebih lemah dari kita. Gak ada salahnya kan kita membantu orang yang lebih lemah? 

Mungkin segini dulu deh postingan tentang pasien rumah sakit jiwa. Kalo emang belum lengkap yaaa, hehehe, kapan-kapan aja kalo ketemu sama aku ntar aku jelasin lagi *lho*. Jangan malu kalo emang punya kenalan yang agak terganggu, mereka itu sama sakitnya sama orang biasa, cuma biasanya sakit fisik, yang ini sakit mental. Siapa tahu kita sendiri yang memancing sisi ‘sakit mental’ mereka. Ada perlakuan kita yang mbikin mereka ‘mbathek’ atau dipikirin sendiri sampe berulang-ulang sampe akhirnya ada yang terganggu jiwanya. Kalo ada temen atau kenalan yang kelihatan dari ekspresinya yang gak enak, bete, tertekan, coba aja pancing mereka untuk cerita itu juga udah mbantu banget. Kebanyakan yang menderita sakit jiwa ya itu, kebanyakan dipendem sendiri kalo ada hal-hal yang mengganggu pikiran. Kalo emang ada hal-hal yang mengganggu pikiran, ya jangan dipaksakan untuk menyelesaikannya sendiri. Manusia ini makhluk sosial, butuh bantuan dari orang lain. Kalo kita bisa membantu meringankan orang lain kan ya gak bikin rugi kan? 


currently listening to:
Taylor Swift - We are never getting back together
Maudy Ayunda - Perahu Kertas
JKT48 - Baby!Baby!Baby
SNSD - Day by Day

CONVERSATION

2 komentar:

rental mobil mengatakan...

sukses terus deh buat studinya.. :)

iklan baris gratis mengatakan...

ditunggu postingan berikutnya yah..

Back
to top